HUKUM PERDATA DAN HUKUM DAGANG
A.
Pengertian
Hukum Perdata Materiil dan Formil
Hukum perdata materiil adalah suatu kumpulan dari
pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hak dan kewajiban
keperdataan antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Jadi, di dalam
hubungan bermasyarakat antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya
diperlukan adanya suatu peraturan atau kaidah yang ada dalam msyarakat baik
yang tertulis maupun tidak tertulis sangatlah dibutuhkan dalam suatu pergaulan
maupun bisnis, yang mana pada umumnya peraturan atau kaidah tersebut dapat
dijadikan sebagai pedoman oleh masyarakat untuk menjalin hubungan antara pihak
yang satu dengan pihak lainnya. Misalnya : perjanjian sewa-menyewa, perjanjian
hutang piutang, perjanjian jual beli, dan sebagainya.
Hukum perdata formil adalah peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang pelaksanaan sanksi hukuman terhadap
para pelanggar hak-hak keperdataan sesuai dengan hukum perdata materiil
mengandung sanksi yang sifatnya memaksa. Hukum perdata formil umumnya merupakan
suatu peraturan pelaksanaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku
di dalam masyarakat atau yang biasa disebut dengan hukum positif. Apabila ada
salah satu pihak atau beberapa pihak di dalam hubungan bermasyarakat antara
pihak yang satu dengan pihak yang lain dilanggar haknya, maka yang melakukan
pelanggaran dapat dikenakan sanksi hukuman atas pelanggaran yang telah
dilakukannya dan telah merugikan pihak lain. Jika dalam hubungan antara yang
satu dengan lainnya baik itu hubungan bermasyarakat, hubungan kerja, hubungan
bisnis maupun hubungan bernegara ada salah satu pihak yang telah melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum positif dan atau
perjanjian yang telah disepakati bersama oleh para pihak yang berkepentingan,
maka pihak-pihak yang telah melakukan pelanggaran dan telah mengakibatkan
kerugian pihak yang lain dapat dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Misalnya : kitab undang-undang hukum acara
pidana.
B.
Pengertian
Perkara Perdata
Perkara perdata merupakan suatu perkara perdata yang
terjadi antara pihak yang satu dengan pihak lainnya dalam hubungan keperdataan.
Dalam hubungan keperdataan antara pihak yang satu dengan pihak lainnya apabila
terjadi sengketa yang tidak dapat diselesaikan oleh para pihak yang sedang
berperkara umumnya diselesaikan melalui pengadilan untuk mendapatkan keadilan
yang seadil-adilnya. Umumnya dalam permohonan penetapan tentang hak-hak
keperdataan yang diajikan oleh pihak yang berkepentingan tidak mengandung
sengketa karena permohonannya di maksudkan untuk mendapatkan pengesahan dari
pihak yang berwajib.
Pengertian perkara perdata dalam arti luas termasuk
perkara-perkara perdata baik yang mengandung sengketa maupun yang tidak
mengandung sengketa, sedangkan pengertian perkara perdata dalam arti yang
sempit adalah perkara-perkara perdata yang di dalamnya sudah dapat dipastikan
mengandung sengketa. Jadi dapat disimpulkan, bahwa setiap perkara perdata yang
diajukan ke persidangan pengadilan tidak hanya perkara yang berhubungan dengan
sengketa saja, tetapi di dalam praktiknya juga terdapat penyelesaian suatu
masalah denan yuridiksi voluntair atau permohonan penetapan hak yang tidak
mengandung sengketa.
C.
Pengertian
Sengketa Perdata
Sengketa perdata merupakan suatu perkara perdata
yang terjadi antara pihak yang bersengketa di dalamnya mengandung sengketa yang
harus diselesaikan oleh kedua belah pihak. Di dalam praktik para pihak yang
bersengketa yang diselesaikan di pengadilan umumnya sengketanya tentang
terjadinya pelanggaran hak dan nyata-nyata telah merugikan pihak lain yang
tidak bisa diselesaikan dengan cara damai di luar persidangan, yang mana pihak
yang telah melakukan pelanggaran hak pihak lain tidak bersedia dengan sukarela
memberikan ganti rugi kepada pihak yang telah dirugikan. Sehingga pihak yang
dirugikan mengajukan permohonan gugatan ke pengadilan untuk menuntut haknya
yang telah dilanggar oleh pihak lain agar diselesaikan oleh pengadilan dengan
tujuan untuk memperoleh keadilan yang seadil-adilnya.
D.
Sifat
Hukum Acara Perdata
Hukum acara perdata baik dalam teori maupun
praktiknya mengatur tentang bagaimana caranya seseorang, organisasi, badan
hukum maupun badan usaha serta negara mengajukan suatu tuntutan hak dan atau
gugatan terhadap para pelanggar hak dan kewajiban yang telah ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan atau ditentukan oleh para pihak
yang berkepentingan melalui perjanjian yang telah disepakati bersama. Dalam
hubungan keperdataan tersebut antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya
apabila ada salah satu pihak atau beberapa pihak yang telah melakukan
pelanggaran dan merugikan salah satu pihak atau beberapa pihak, akan dikenakan
sangsi berupa hukuman. Hukuman dalam hukum acara perdata umumnya memberikan
ganti rugi kepada salah satu pihak atau beberapa pihak yang telah dirugikan
atas adanya pelanggaran yang terjadi.
Karena hukum acara perdata baik teori maupun
praktiknya merupakan peraturan atau kaidah yang mengatur tentang pelaksanaan
hukuman atas pelanggaran hak yang terjadi sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
ada dalam hukum materiil, maka sifat dari hukum acara perdata adalah
melaksanakan hukuman terhadap para pelanggar hak pihak lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada di dalam hukum materiil agar
dapat dilaksanakan secara paksa melalui pengadilan ketentuan-ketentuan yan ada
dalam hukum acara perdata tersebut dibuat oleh penguasa dimaksudkan agar dalam
hubungan antara pihak yang satu terhadap pihak yang lain yang ada dalam
masyarakat dan atau suatu negara dapat berjalan dengan tertib dan terdapat
keseimbangan antara hak dan kewajiban. Jadi, apabila dalam suatu masyarakat
terdapat adannya pelanggaran sesuatu hak, maka pihak yang telah melakukan
pelanggran dapat dikenakan sangsi hukuman setelah adanya keputusan dari
pengadilan negeri yang sifatnya dapat dilaksanakan dengan cara paksa tanpa
pandang bulu.
E.
Sumber-sumber
Hukum Acara Perdata
Negara Indonesia semenjak merdeka tahun 1945 sampai
saat ini belum mempunyai peraturan perundang-undangan yang secara khusus
mengatur tentang hukum acara perdata yang keberlakuannya secara nasional.
Sehingga menyebabkan sumber-sumber hukum acara perdata di indonesia sampai saat
ini masih berserakan di beberapa peraturan perundang-undangan dan hukum acara
yang ada hanyalah hukum acara pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang
nomor 8 tahun 1981. Adapun sumber-sumber hukum acara perdata di indonesia yang
berlaku sampai saat ini yakni :
1. HIR
(Het Herziene Indonesisch Reglement)
reglement tentang melakukan pekerjaan kepolisian, mengadili perkara perdata dan
penuntutan hukuman untuk bangsa Bumiputera dan bangsa timur di Tanah Jawa dan
Madura, yang merupakan pembaruan dari Reglement Bumiputera atau Reglement
Indonesia (RIB) dengan staatsblad 1941 Nomor 44
2. RBg
(Reglement Tot Regeling Van Het
Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura) reglement tentang hukum
acara perdata yang berlaku untuk daerah luar jawa dan Madura dengan Staatsblad
1927 nomor 227
3. Rv
(Reglement Op De Rechtsvordering)
reglement tentang hukum acara perdata dengan Staatsblad 1847 nomor 52 juncto
1849 Nomor 63
4. RO
(Reglement Of De Rechterlijke Organisatie
In Het Beleid Der Justitie In Indonesia/Reglement tentang organisasi
kehakiman dengan Staatsblad 1847 nomor 23)
5. Ordonansi
dengan Staatsblad 1867 nomor 29 tanggal 15 Maret 1867 tentang kekuatan bukti,
surat-surat di bawah tangan yang di perbuat oleh orang Bangsa Bumi Putera atau
oleh yang disamakan dengan dia
6. BW
(Burgerlijk Wetboek/Kitab
Undang-undang Hukum perdata/Kitab Undang-undang Hukum Sipil) yang
dikodifikasikan pada tanggal 1 Mei 1848 pada zaman pemerintahan Belanda di
Indonesia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang berlaku bagi mereka
yang termasuk golongan Eropa
7. Kitab
Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek Van
Koophandel) buku ke satu Lembaran Negara RI Nomor 276 yang diberlakukan
mulai tanggal 17 Juli 1938 dan buku kedua Lembaran Negara RI Nomor 49 Tahun
1933
8. Undang-undang
Nomor 20 Tahun 1947 tentang ketentuan banding (Peradilan Ulangan) untuk Daerah Jawa dan Madura yang ditetapkan di
Yogyakarta pada tanggal 24 Juni 1947 oleh Presiden Republik Indonesia yang
Pertama kali Ir.Soekarno
9. Undang-unang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Lembaran Negara RI Nomor 1 Tahun 1974
tanggal 2 Januari 1974
10. Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang
Berkaitan dengan Tanah (UUHT)
11. Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Lembaran Negara RI Nomor 157
Tahun 2009 tanggal 29 Oktober 2009
12. Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum Lembaran Negara RI Nomor 20 Tahun
1986 tanggal 8 Maret 1986 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
Lembaran Negara RI Nomor 34 Tahun 2004 tanggal 29 Maret 2004
13. Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Lembaran Negara RI Nomor 73 Tahun
1985 tanggal 30 Desember 1985 yang di rubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung Lembaran Negara RI Nomor 9 Tahun 2004 tanggal 15 Januari 2004
14. Undang-undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Lembaran Negara RI Nomor 131 Tahun 2004 tanggal 18 November 2004
15. Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
16. Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama
17. Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Lembaran Negara Nomor 77
Tahun 1986 yang di rubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Lembaran
Negara Nomor 35 Tahun 2004 tanggal 29 Maret 2004
18. Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Lembaran Negara Nomor 98 Tahun 2003
tanggal 13 Agustus 2003
19. Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung
20. Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
Mahkamah Agung
21. Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1982 tentang Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 1980 yang disempurnakan
22. SEMA
Nomor 6 Tahun 1992 tentang Penyelesaian perkara di Pengadilan Tinggi dan
Pengadilan Negeri, SEMA Nomor 3 Tahun 2000 tentang Putusan serta merta (Uit Voerbaar Bij Voorraad) dan Provisionil, SEMA Nomor 4 Tahun 2001
tentang Permasalahan Putusan Serta Merta (Uit
Voerbaar Bij Voorraad), SEMA Nomor 10 Tahun 2005 tentang Bimbingan dan
Petunjuk Pimpinan Pengadilan terhadap Hakim/Majelis Hakim dalam Menangani
Perkara
23. Yurisprudensi
24. Dan
sebagainya
Dengan
banyaknya sumber hukum acara perdata yang berserakan di beberapa peraturan
perundang-undangan sudah barang tentu akan menyebabkan calon-calon yuris di
Indonesia mengalami hambatan dan atau kesulitan dalam mempelajarinya, karena
untuk mempelajari hukum acara perdata harus mengeluarkan dana yang cukup banyak
untuk membeli beberapa peraturan perundang-undangan yang merupakan sumber hukum
dari pada hukum acara perdata yang realitannya belum tentu dapat di penuhi oleh
calon-calon yuris yang disebabkan oleh karena keterbatasan keuangan (Finansial
Seseorang).
Untuk
itu sudah saatnya Negara Indonesia sebagai Negara Hukum mempunyai hukum yang
merupakan hasil produk dari pada yuris Bangsa Indonesia sendiri baik itu
mengenai hukum perdata, hukum pidana dan hukum acara perdata yang pembuatannya
diserahkan kepada para yuris yang betul-betul ahli tentang hukum dan tidak
diserahkan kepada orang-orang yang bukan ahlinya, dengan maksud agar peraturan
perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa dapat menjadi hukum positif yang
betul-betul dapat menjadi pedoman bagi Bangsa dan Negara Indonesia dalam
penegakan “rule of law”.
Seharusnya
dalam pembuatan peraturan perundang-undangan yang diutamakan yang betul-betul
dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga pembuatan peraturan perundang-undangan
dapat bermanfaat bagi bangsa dan negara. Dalam pembuatan suatu peraturan
perundang-undangan jika dibuat bukan oleh ahlinya sudah barang tentu akan
menyebabkan peraturan perundang-undangan khususnya tentang isi dan atau
ketentuan-ketentuannya yang ada dalam peraturan perundang-undangan hanya akan berlaku sesaat dan tidak mengenai
sasaran karena dibuat oleh orang-orang yang bukan ahlinya, sehingga hasilnya
tidak bisa maksimal.
F.
Asas-asas
Hukum Acara Perdata
Asas-asas hukum acra perdata merupakan suatu pedoman
atas dasar yang harus dilaksanakan oleh hakim dalam mengadili suatu perkara di
persidangan pengadilan. Asas-asas yang ada dalam hukum positif umumnya
dijadikan sebagai pedoman atas dasar oleh hakim dalam melaksanakan tugasnya
mengadili para pihak yang sedang berperkara di persidangan pengadilan, yang
mana asas-asas hukum ini mengatur tentang proses jalannya persidangan yang
harus atau wajib dilaksanakan oleh hakim dalam pesidangan pengadilan. Asas-asas
yang ada dalam hukum acara perdata Indonesia antara lain :
1. Asas
hakim bersifat pasif
Asas hakim bersifat pasif
yakni adanya tuntutan hak ari penggugat kepada tergugat timbulnya inisiatif
sepenuhnya ada pada pihak penggugat. Asas hakim bersifat pasif di sini dalam
pengertian yang luas bahwa dalam suatu perkara diajukan ke pengadilan atau
tidak untuk penyelesaiannya inisiatif sepenuhnya tergantung kepada pihak yang
sedang berperkara bukan kepada hakim yang memerikasa karena sebelum perkara
diajukan ke pengadilan hakim bersifat pasif, sedangkan jika suatu perkara yang
dihadapi oleh para pihak telah diajukan ke persidangan pengadilan, maka hakim
harus bersifat aktif untuk mengadili perkara tersebut seadil-adilnya tanpa
pandang bulu. Jadi, maksudnya asas hakim bersifat pasif di sini batasannya
hanya pada perkara yang belum diajukan ke pengadilan, tetapi setelah perkara
diajukan ke pengadilan batasan tersebut telah hilang dan berubah menjadi
bersifat aktif untuk mengadili perkara sesuai dengan tuntutan yang diajukan
oleh pihak penggugat.
2. Asas
sifat terbukanya persidangan
Asas sifat terbukanya
persidangan merupakan hakim di dalam mengadili suatu perkara yang diajukan oleh
penggugat, persidangannya terbuka untuk umum. Asas terbukannya persidangan
dimaksudkan agar publik dapat menyaksikan langsung jalannya persidangan
sekaligus menjadi pengawas hakim dalam menangani suatu perkara objektif apa
tidak atau berpihak kepada salah satu pihak atau tidak.
3. Asas
mendengar kedua belah pihak
Asas mendengar kedua
belah pihak merupakan hakim dalam menangani suatu perkara terhadap para pihak
yang sedang berperkara harus mendengarkan keterangan tentang terjadinya
peristiwa hukum dari kedua belah pihak
4. Asas
bebas dari campur tangan para pihak di luar pengadilan
Maksud dari asas bebas
dari campur tangan para pihak di luar pengadilan yakni hakim pengadilan di
dalam memberikan keputusan terhadap para pihak yang sedang berperkara harus
berdasarkan keyakinannya dan tidak boleh terpengaruh oleh pihak lain di luar
pengadilan.
5. Asas
sederhana, cepat, dan biaya ringan
Asas sederhana, cepat,
dan biaya ringan merupakan hakim dalam mengadili suatu perkara harus berusaha
semaksimal mungkin untuk menyelesaikan perkara dalam tempo yang tidak terlalu
lama.
6. Asas
putusan harus disertai alasan-alasan
Asas putusan harus
disertai alasan-alasan merupakan keputusan hakim dalam suatu perkara harus
menggunakan dalil-dalil dan atau dasar hukum positif yang ada.
7. Asas
putusan harus dilaksanakan setelah 14 hari lewat
Asas putusan harus
dilaksanakan setelah 14 hari lewat maksudnya setiap keputusan pengadilan hanya
dapat dilaksanakan setelah tenggang waktu 14 telah lewat dan telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap atau tidak ada upaya hukum lain dari pihak yang
dikalahkan, kecuali dalam putusan “provisionil dan putusan uit voerbaar bij
voorraad”. Dalam putusan provisionil walaupun belum diberikan keputusan akhir
dalam persidangan eksekusi terhadap objek sengketa terhadap barang-barang
bergerak milik penggugat yang berada di tangan tergugat atau berada di tangan
pihak ketiga dapat dilaksanakan terlebih dahulu.
8. Asas
beracara dikenakan biaya
Asas beracara dikenakan
biaya maksudnya para pihak yang beracara di pengadilan di kenakan biaya
perkara. Biaya perkara umumnya dapat berupa biaya untuk pemanggilan,
pemberitahuan dan biaya materai. Biaya-biaya tersebut sangat diperlukan oleh
pengadilan karena untuk memperlancar jalannya persidangan, khususnya untuk
pemanggilan dan pemberitahuan para pihak yang sedang berperkara di persidangan
pengadilan.
G.
Keadaan
Hukum Perdata di Indonesia
Perkara “hukum perdata” dalam arti yang luas
meliputi semua hukum “privat materiil”, yaitu segala hukum pokok yang mengatur
kepentingan-kepentingan perseorangan. Perkataan “perdata” juga lazim dipakai
sebagai lawan dari “pidana”. Perkataan “hukum perdata” adakalanya dipakai dalam
arti yang sempit, sebagai lawan “hukum dagang” seperti dalam pasal 102
Undang-undang Dasar Sementara, yang menitahkan pembukuan (kodifikasi) hukum di
negara kita ini terhadap Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Hukum Pidana Sipil maupun
Hukum Pidana Militer, Hukum Acra Perdata dan Hukum Acara Pidana, dan susunan
serta kekeuasaan pengadilan.
Hukum yang berlaku bagi golongan bangsa Indonesia
asli sendiripun ada ber-bhineka lagi, yaitu berbeda-beda dari daerah ke daerah.
Untuk mengerti keadaan Hukum Perdata di Indonesia sekarang ini perlulah
mengetahui tentang riwayat politik Pemerintahan Hindia-Belanda dahulu terhadap
hukum di Indonesia. Pedoman politik bagi Pemeintah Hindia-Belanda terhadap
hukum di Indonesia dituliskan dalam pasal 131 “Indische Staats Regeling” (sebelum pasal 75 Regeringsreglement),
yang dalam pokoknya adalah :
1. Hukum
Perdata dan Dagang harus diletakkan dalam kitab-kitab undang-undang yaitu
dikodifisir
2. Untuk
golongan bangsa Eropa dianut perundang-undangan yang berlaku di Negeri Belanda
3. Untuk
golongan bangsa Indonesia asli Timur Asing (Tionghoa, Arab)
4. Orang
Indnesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan di
bawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropa, diperbolehkan “menundukkan
diri” pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa
5. Sebelum
hukum untuk bangsa Indonesia ditulis di dalam undang-undang
Berdasarkan
pedoman-pedoman di atas di zaman Hindia-Belanda telah ada beberapa peraturan
undang-undang Eropah yang telah “dinyatakan
berlaku” untuk Bangsa Indonesia asli, seperti pasal 1601-1603 lama dari
B.W., yaitu perihal perjanjian kerja atau perburuhan (Staatsblad 1879 No. 256),
pasal 1788-1791 B.W. perihal hutang-hutang dari perjudian (staatsblad 1907 No.
306) dan beberapa pasal dari Kitab Undang-undang Hukum Dagang, yaitu sebagian
besar dari Hukum Laut (Staatsblad 1933 No. 49).
H.
Sistematika
Hukum Perdata
Di berbagai negeri yang modern, misalnya di Amerika
Serikat dan di Swiss, tidak terdapat suatu Kitab Undang-undang Hukum Dagang
tersendiri di samping pembukuan Hukum Perdata seumumnya. Oleh karena itu,
sekarang terdapat suatu aliran untuk meleburkan Kitab Undang-undang Hukum
Dagang itu ke dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Adanya pemisahan Hukum
Dagang dari Hukum Perdata dalam perundang-undangan sekarang ini, hanya terbawa
oleh sejarah, yaitu karena di dalam hukum Rumawi yang merupakan sumber
terpenting dari Hukum Perdata di Eropah Barat belumlah terkenal Hukum dagang
sebagaimana yang terletak dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang sekarang sebab
memang perdagangan internasional juga dapat dikatakan baru mulai berkembang
dalam Abad Pertengahan.
Hukum Perdata menurut ilmu hukum sekarang dibagi
dalam empat bagian, yaitu :
1. Hukum
tentang diri seseorang
Memuat
peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subyek dalam hukum,
peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan
unyuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang
mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.
2. Hukum
keluarga
Mengatur perihal
hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu :
perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dan
isteri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele.
3. Hukum
kekayaan
Mengatur perihal
hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Jika kita mengatakan
tentang kekayaan seseorang, yang dimaksud ialah jumlah segala hak dan kewajiban
orang itu, dinilai dengan uang. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang demikian
itu, biasanya dapat dipindahkan kepada orang lain. Hak-hak kekayaan, terbagi
lagi atas hak-hak yang berlaku terhadap tiap orang dan karenanya dinamakan hak
mutlak dan hak-hak yang hanya berlaku terhadap seseorang atau suatu pihak yang
tertentu saja dan karenanya dinamakan hak perseorangan.
4. Hukum
waris
Mengatur hal ikhwal
tentang benda atau kekayaan seorang jikalau ia meninggal. Juga dapat dikatakan,
Hukum Waris itu mengatur akibat-akibat hubungan keluarga terhadap harta
peninggalan seseorang. Berhubung dengan sifatnya yang setengah-setengah ini,
Hukum Waris lazimnya ditempatkan tersendiri.
I.
Pengertian
Hukum Dagang
Hukum dagang merupakan jenis khusus hukum perdata.
Oleh karena itu, hubungan hukum dan perbuatan hukum perdagangan juga merupakan
hukum keperdataan.
J.
Sumber-sumber
Hukum Dagang Indonesia
Mulanya sumber utama hukum dagang Indonesia diatur
dalam KUHPerdata sebagai genus, dan
KUHP sebagai species. Dengan semakin
pesatnya perkembangan dunia bisnis, pengaturan hukum dagang atau bisnis makin
berkembang dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur
bagian-bagian khusus dari hukum bisnis antara lain yakni :
1. Pengaturan
hukum di dalam kodifikasi
a. Kitab
undang-undang hukum perdata
KUHPerdata yang secara
nyata menjadi sumber hukum dagang adalah buku III tentang perikatan.
b. Pengaturan
di dalam kitab undang-undang hukum dagang
2. Pengaturan
di luar kodifikasi
Sumber-sumber hukum
dagang yang terdapat di luar kodifikasi diantaranya :
a. UU
No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
b. UU
No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
c. UU
No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
d. UU
No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan
e. UU
N0. 14 Tahun 2002 tentang Paten
f. UU
No. 15 Tahun 1992 tentang Merek
g. UU
No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
h. UU
No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang
i.
UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain
Industri
j.
UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata
Letak Sirkuit Terpadu
3. Yurisprudensi
4. Hukum
kebiasaan
K.
Pengertian
Persekutuan Perdata
Di dalam hukum Inggris hukum persekutuan dikenal
dengan istilah company law. Persekutuan
perdata menurut pasal 1618 KUHPerdata adalah perjanjian antara dua orang atau
lebih mengikat diri untuk memasukkan sesuatu ke dalam persekutuan dengan maksud
membagi keuntungan yang diperoleh. Dari ketentuan pasal 1618 KUHPerdata
tersebut, dapat ditarik beberapa unsur yang terdapat di dalam persekutuan
perdata, antara lain :
1. Adanya
suatu perjanjian kerjasama antara dua orang atau lebih
2. Masing-masing
pihak harus memasukkan sesuatu ke dalam persekutuan
3. Bermaksud
membagi keuntungan bersama
Dari persekutuan perdata baik yang
dianut di Inggris, Amerika Serikat, dan Malaysia dapat ditarik beberapa unsur
yang melekat dalam persekutuan perdata yakni :
1. Ketentuan
di atas secara tegas tidak memasukkan persekutuan perdata sebagai perusahaan
yang terdaftar berdasarkan ketentuan perundang-undangan perusahaan
2. Persekutuan
perdata merupakan hubungan kontraktual
3. Persekutuan
itu menjalankan suatu kegiatan bisnis
4. Persekutuan
didrikan dan dijalankan dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan
L.
Bentuk-bentuk
Persekutuan Perdata
Ada beberapa bentuk hukum persekutuan perdata yang
dikenal di dalam praktik yaitu :
1. Persekutuan
perdata dapat terjadi antara pribadi-pribadi yang melakukan suatu pekerjaan
bebas, seperti pengacara, dokter, arsitek, dan akuntan
2. Persekutuan
bertindak ke luar kepada pihak ketiga secara terang-terangan dan terus-menerus
untuk mencari laba, maka persekutuan perdata tersebut dikatakan menjalankan
perusahaan
3. Suatu
perjanjian kerjasama dari suatu transaksi sekali segera setempat. Misalnya,
kerjasama untuk membeli barang secara bersama-sama dan kemudian dijula dengan
mendapat keuntungan
M.
Pengurusan
Persekutuan Perdata
Pembebanan pengurusan persekutuan perdata dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu :
1. Diatur
sekaligus bersama-sama akta pendirian persekutuan perdata. Sekutu pengurus
persekutuan perdata disebut sekutu statuter
2. Diatur
dengan akta tersendiri sesudah persekutuan-persekutuan perdata berdiri. Sekutu
pengurus semacam ini dinamakan sekutu mandater
Pengurus pada persekutuan perdata
biasannya sekutu sendiri. Para sekutu dapat pula menetapkan, bahwa orang luar
yang dianggap cakap diangkat sebagai pengurus persekutuan perdata.
N.
Berakhirnya
Persekutuan Perdata
Suatu persekutuan perdata akan berakhir disebabkan
oleh beberapa faktor antara lain :
1. Lampaunya
waktu yang diperjanjikan
2. Pengakhiran
oleh salah satu sekutu
3. Pengakhiran
berdasarkan alasan yang sah
4. Selesainya
perbuatan
5. Hancurnya
benda yang menjadi objek persekutuan
6. Kematian
salah satu sekutu
7. Adanya
pengampunan atau kepailitan terhadap salah seorang sekutu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar