Rabu, 29 Juni 2016

Aspek Hukum Ekonomi dan Bisnis

HUKUM PERDATA DAN HUKUM DAGANG


A.    Pengertian Hukum Perdata Materiil dan Formil
Hukum perdata materiil adalah suatu kumpulan dari pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hak dan kewajiban keperdataan antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Jadi, di dalam hubungan bermasyarakat antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya diperlukan adanya suatu peraturan atau kaidah yang ada dalam msyarakat baik yang tertulis maupun tidak tertulis sangatlah dibutuhkan dalam suatu pergaulan maupun bisnis, yang mana pada umumnya peraturan atau kaidah tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman oleh masyarakat untuk menjalin hubungan antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Misalnya : perjanjian sewa-menyewa, perjanjian hutang piutang, perjanjian jual beli, dan sebagainya.
Hukum perdata formil adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pelaksanaan sanksi hukuman terhadap para pelanggar hak-hak keperdataan sesuai dengan hukum perdata materiil mengandung sanksi yang sifatnya memaksa. Hukum perdata formil umumnya merupakan suatu peraturan pelaksanaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di dalam masyarakat atau yang biasa disebut dengan hukum positif. Apabila ada salah satu pihak atau beberapa pihak di dalam hubungan bermasyarakat antara pihak yang satu dengan pihak yang lain dilanggar haknya, maka yang melakukan pelanggaran dapat dikenakan sanksi hukuman atas pelanggaran yang telah dilakukannya dan telah merugikan pihak lain. Jika dalam hubungan antara yang satu dengan lainnya baik itu hubungan bermasyarakat, hubungan kerja, hubungan bisnis maupun hubungan bernegara ada salah satu pihak yang telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum positif dan atau perjanjian yang telah disepakati bersama oleh para pihak yang berkepentingan, maka pihak-pihak yang telah melakukan pelanggaran dan telah mengakibatkan kerugian pihak yang lain dapat dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Misalnya : kitab undang-undang hukum acara pidana.

B.     Pengertian Perkara Perdata
Perkara perdata merupakan suatu perkara perdata yang terjadi antara pihak yang satu dengan pihak lainnya dalam hubungan keperdataan. Dalam hubungan keperdataan antara pihak yang satu dengan pihak lainnya apabila terjadi sengketa yang tidak dapat diselesaikan oleh para pihak yang sedang berperkara umumnya diselesaikan melalui pengadilan untuk mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya. Umumnya dalam permohonan penetapan tentang hak-hak keperdataan yang diajikan oleh pihak yang berkepentingan tidak mengandung sengketa karena permohonannya di maksudkan untuk mendapatkan pengesahan dari pihak yang berwajib.
Pengertian perkara perdata dalam arti luas termasuk perkara-perkara perdata baik yang mengandung sengketa maupun yang tidak mengandung sengketa, sedangkan pengertian perkara perdata dalam arti yang sempit adalah perkara-perkara perdata yang di dalamnya sudah dapat dipastikan mengandung sengketa. Jadi dapat disimpulkan, bahwa setiap perkara perdata yang diajukan ke persidangan pengadilan tidak hanya perkara yang berhubungan dengan sengketa saja, tetapi di dalam praktiknya juga terdapat penyelesaian suatu masalah denan yuridiksi voluntair atau permohonan penetapan hak yang tidak mengandung sengketa.

C.    Pengertian Sengketa Perdata
Sengketa perdata merupakan suatu perkara perdata yang terjadi antara pihak yang bersengketa di dalamnya mengandung sengketa yang harus diselesaikan oleh kedua belah pihak. Di dalam praktik para pihak yang bersengketa yang diselesaikan di pengadilan umumnya sengketanya tentang terjadinya pelanggaran hak dan nyata-nyata telah merugikan pihak lain yang tidak bisa diselesaikan dengan cara damai di luar persidangan, yang mana pihak yang telah melakukan pelanggaran hak pihak lain tidak bersedia dengan sukarela memberikan ganti rugi kepada pihak yang telah dirugikan. Sehingga pihak yang dirugikan mengajukan permohonan gugatan ke pengadilan untuk menuntut haknya yang telah dilanggar oleh pihak lain agar diselesaikan oleh pengadilan dengan tujuan untuk memperoleh keadilan yang seadil-adilnya.

D.    Sifat Hukum Acara Perdata
Hukum acara perdata baik dalam teori maupun praktiknya mengatur tentang bagaimana caranya seseorang, organisasi, badan hukum maupun badan usaha serta negara mengajukan suatu tuntutan hak dan atau gugatan terhadap para pelanggar hak dan kewajiban yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan atau ditentukan oleh para pihak yang berkepentingan melalui perjanjian yang telah disepakati bersama. Dalam hubungan keperdataan tersebut antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya apabila ada salah satu pihak atau beberapa pihak yang telah melakukan pelanggaran dan merugikan salah satu pihak atau beberapa pihak, akan dikenakan sangsi berupa hukuman. Hukuman dalam hukum acara perdata umumnya memberikan ganti rugi kepada salah satu pihak atau beberapa pihak yang telah dirugikan atas adanya pelanggaran yang terjadi.
Karena hukum acara perdata baik teori maupun praktiknya merupakan peraturan atau kaidah yang mengatur tentang pelaksanaan hukuman atas pelanggaran hak yang terjadi sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum materiil, maka sifat dari hukum acara perdata adalah melaksanakan hukuman terhadap para pelanggar hak pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada di dalam hukum materiil agar dapat dilaksanakan secara paksa melalui pengadilan ketentuan-ketentuan yan ada dalam hukum acara perdata tersebut dibuat oleh penguasa dimaksudkan agar dalam hubungan antara pihak yang satu terhadap pihak yang lain yang ada dalam masyarakat dan atau suatu negara dapat berjalan dengan tertib dan terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban. Jadi, apabila dalam suatu masyarakat terdapat adannya pelanggaran sesuatu hak, maka pihak yang telah melakukan pelanggran dapat dikenakan sangsi hukuman setelah adanya keputusan dari pengadilan negeri yang sifatnya dapat dilaksanakan dengan cara paksa tanpa pandang bulu.

E.     Sumber-sumber Hukum Acara Perdata
Negara Indonesia semenjak merdeka tahun 1945 sampai saat ini belum mempunyai peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang hukum acara perdata yang keberlakuannya secara nasional. Sehingga menyebabkan sumber-sumber hukum acara perdata di indonesia sampai saat ini masih berserakan di beberapa peraturan perundang-undangan dan hukum acara yang ada hanyalah hukum acara pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang nomor 8 tahun 1981. Adapun sumber-sumber hukum acara perdata di indonesia yang berlaku sampai saat ini yakni :
1.      HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) reglement tentang melakukan pekerjaan kepolisian, mengadili perkara perdata dan penuntutan hukuman untuk bangsa Bumiputera dan bangsa timur di Tanah Jawa dan Madura, yang merupakan pembaruan dari Reglement Bumiputera atau Reglement Indonesia (RIB) dengan staatsblad 1941 Nomor 44
2.      RBg (Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura) reglement tentang hukum acara perdata yang berlaku untuk daerah luar jawa dan Madura dengan Staatsblad 1927 nomor 227
3.      Rv (Reglement Op De Rechtsvordering) reglement tentang hukum acara perdata dengan Staatsblad 1847 nomor 52 juncto 1849 Nomor 63
4.      RO (Reglement Of De Rechterlijke Organisatie In Het Beleid Der Justitie In Indonesia/Reglement tentang organisasi kehakiman dengan Staatsblad 1847 nomor 23)
5.      Ordonansi dengan Staatsblad 1867 nomor 29 tanggal 15 Maret 1867 tentang kekuatan bukti, surat-surat di bawah tangan yang di perbuat oleh orang Bangsa Bumi Putera atau oleh yang disamakan dengan dia
6.      BW (Burgerlijk Wetboek/Kitab Undang-undang Hukum perdata/Kitab Undang-undang Hukum Sipil) yang dikodifikasikan pada tanggal 1 Mei 1848 pada zaman pemerintahan Belanda di Indonesia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang berlaku bagi mereka yang termasuk golongan Eropa
7.      Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek Van Koophandel) buku ke satu Lembaran Negara RI Nomor 276 yang diberlakukan mulai tanggal 17 Juli 1938 dan buku kedua Lembaran Negara RI Nomor 49 Tahun 1933
8.      Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang ketentuan banding (Peradilan Ulangan) untuk Daerah Jawa dan Madura yang ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 24 Juni 1947 oleh Presiden Republik Indonesia yang Pertama kali Ir.Soekarno
9.      Undang-unang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Lembaran Negara RI Nomor 1 Tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974
10.  Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT)
11.  Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Lembaran Negara RI Nomor 157 Tahun 2009 tanggal 29 Oktober 2009
12.  Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum Lembaran Negara RI Nomor 20 Tahun 1986 tanggal 8 Maret 1986 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum Lembaran Negara RI Nomor 34 Tahun 2004 tanggal 29 Maret 2004
13.  Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Lembaran Negara RI Nomor 73 Tahun 1985 tanggal 30 Desember 1985 yang di rubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Lembaran Negara RI Nomor 9 Tahun 2004 tanggal 15 Januari 2004
14.  Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Lembaran Negara RI Nomor 131 Tahun 2004 tanggal 18 November 2004
15.  Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
16.  Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
17.  Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Lembaran Negara Nomor 77 Tahun 1986 yang di rubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Lembaran Negara Nomor 35 Tahun 2004 tanggal 29 Maret 2004
18.  Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Lembaran Negara Nomor 98 Tahun 2003 tanggal 13 Agustus 2003
19.  Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
20.  Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung
21.  Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1982 tentang Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 yang disempurnakan
22.  SEMA Nomor 6 Tahun 1992 tentang Penyelesaian perkara di Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri, SEMA Nomor 3 Tahun 2000 tentang Putusan serta merta (Uit Voerbaar Bij Voorraad) dan Provisionil, SEMA Nomor 4 Tahun 2001 tentang Permasalahan Putusan Serta Merta (Uit Voerbaar Bij Voorraad), SEMA Nomor 10 Tahun 2005 tentang Bimbingan dan Petunjuk Pimpinan Pengadilan terhadap Hakim/Majelis Hakim dalam Menangani Perkara
23.  Yurisprudensi
24.  Dan sebagainya

Dengan banyaknya sumber hukum acara perdata yang berserakan di beberapa peraturan perundang-undangan sudah barang tentu akan menyebabkan calon-calon yuris di Indonesia mengalami hambatan dan atau kesulitan dalam mempelajarinya, karena untuk mempelajari hukum acara perdata harus mengeluarkan dana yang cukup banyak untuk membeli beberapa peraturan perundang-undangan yang merupakan sumber hukum dari pada hukum acara perdata yang realitannya belum tentu dapat di penuhi oleh calon-calon yuris yang disebabkan oleh karena keterbatasan keuangan (Finansial Seseorang).
Untuk itu sudah saatnya Negara Indonesia sebagai Negara Hukum mempunyai hukum yang merupakan hasil produk dari pada yuris Bangsa Indonesia sendiri baik itu mengenai hukum perdata, hukum pidana dan hukum acara perdata yang pembuatannya diserahkan kepada para yuris yang betul-betul ahli tentang hukum dan tidak diserahkan kepada orang-orang yang bukan ahlinya, dengan maksud agar peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa dapat menjadi hukum positif yang betul-betul dapat menjadi pedoman bagi Bangsa dan Negara Indonesia dalam penegakan “rule of law”.
Seharusnya dalam pembuatan peraturan perundang-undangan yang diutamakan yang betul-betul dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga pembuatan peraturan perundang-undangan dapat bermanfaat bagi bangsa dan negara. Dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan jika dibuat bukan oleh ahlinya sudah barang tentu akan menyebabkan peraturan perundang-undangan khususnya tentang isi dan atau ketentuan-ketentuannya yang ada dalam peraturan perundang-undangan  hanya akan berlaku sesaat dan tidak mengenai sasaran karena dibuat oleh orang-orang yang bukan ahlinya, sehingga hasilnya tidak bisa maksimal.

F.     Asas-asas Hukum Acara Perdata
Asas-asas hukum acra perdata merupakan suatu pedoman atas dasar yang harus dilaksanakan oleh hakim dalam mengadili suatu perkara di persidangan pengadilan. Asas-asas yang ada dalam hukum positif umumnya dijadikan sebagai pedoman atas dasar oleh hakim dalam melaksanakan tugasnya mengadili para pihak yang sedang berperkara di persidangan pengadilan, yang mana asas-asas hukum ini mengatur tentang proses jalannya persidangan yang harus atau wajib dilaksanakan oleh hakim dalam pesidangan pengadilan. Asas-asas yang ada dalam hukum acara perdata Indonesia antara lain :
1.      Asas hakim bersifat pasif
Asas hakim bersifat pasif yakni adanya tuntutan hak ari penggugat kepada tergugat timbulnya inisiatif sepenuhnya ada pada pihak penggugat. Asas hakim bersifat pasif di sini dalam pengertian yang luas bahwa dalam suatu perkara diajukan ke pengadilan atau tidak untuk penyelesaiannya inisiatif sepenuhnya tergantung kepada pihak yang sedang berperkara bukan kepada hakim yang memerikasa karena sebelum perkara diajukan ke pengadilan hakim bersifat pasif, sedangkan jika suatu perkara yang dihadapi oleh para pihak telah diajukan ke persidangan pengadilan, maka hakim harus bersifat aktif untuk mengadili perkara tersebut seadil-adilnya tanpa pandang bulu. Jadi, maksudnya asas hakim bersifat pasif di sini batasannya hanya pada perkara yang belum diajukan ke pengadilan, tetapi setelah perkara diajukan ke pengadilan batasan tersebut telah hilang dan berubah menjadi bersifat aktif untuk mengadili perkara sesuai dengan tuntutan yang diajukan oleh pihak penggugat.
2.      Asas sifat terbukanya persidangan
Asas sifat terbukanya persidangan merupakan hakim di dalam mengadili suatu perkara yang diajukan oleh penggugat, persidangannya terbuka untuk umum. Asas terbukannya persidangan dimaksudkan agar publik dapat menyaksikan langsung jalannya persidangan sekaligus menjadi pengawas hakim dalam menangani suatu perkara objektif apa tidak atau berpihak kepada salah satu pihak atau tidak.
3.      Asas mendengar kedua belah pihak
Asas mendengar kedua belah pihak merupakan hakim dalam menangani suatu perkara terhadap para pihak yang sedang berperkara harus mendengarkan keterangan tentang terjadinya peristiwa hukum dari kedua belah pihak
4.      Asas bebas dari campur tangan para pihak di luar pengadilan
Maksud dari asas bebas dari campur tangan para pihak di luar pengadilan yakni hakim pengadilan di dalam memberikan keputusan terhadap para pihak yang sedang berperkara harus berdasarkan keyakinannya dan tidak boleh terpengaruh oleh pihak lain di luar pengadilan.
5.      Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan
Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan merupakan hakim dalam mengadili suatu perkara harus berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan perkara dalam tempo yang tidak terlalu lama.
6.      Asas putusan harus disertai alasan-alasan
Asas putusan harus disertai alasan-alasan merupakan keputusan hakim dalam suatu perkara harus menggunakan dalil-dalil dan atau dasar hukum positif yang ada.
7.      Asas putusan harus dilaksanakan setelah 14 hari lewat
Asas putusan harus dilaksanakan setelah 14 hari lewat maksudnya setiap keputusan pengadilan hanya dapat dilaksanakan setelah tenggang waktu 14 telah lewat dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap atau tidak ada upaya hukum lain dari pihak yang dikalahkan, kecuali dalam putusan “provisionil dan putusan uit voerbaar bij voorraad”. Dalam putusan provisionil walaupun belum diberikan keputusan akhir dalam persidangan eksekusi terhadap objek sengketa terhadap barang-barang bergerak milik penggugat yang berada di tangan tergugat atau berada di tangan pihak ketiga dapat dilaksanakan terlebih dahulu.
8.      Asas beracara dikenakan biaya
Asas beracara dikenakan biaya maksudnya para pihak yang beracara di pengadilan di kenakan biaya perkara. Biaya perkara umumnya dapat berupa biaya untuk pemanggilan, pemberitahuan dan biaya materai. Biaya-biaya tersebut sangat diperlukan oleh pengadilan karena untuk memperlancar jalannya persidangan, khususnya untuk pemanggilan dan pemberitahuan para pihak yang sedang berperkara di persidangan pengadilan.

G.    Keadaan Hukum Perdata di Indonesia
Perkara “hukum perdata” dalam arti yang luas meliputi semua hukum “privat materiil”, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Perkataan “perdata” juga lazim dipakai sebagai lawan dari “pidana”. Perkataan “hukum perdata” adakalanya dipakai dalam arti yang sempit, sebagai lawan “hukum dagang” seperti dalam pasal 102 Undang-undang Dasar Sementara, yang menitahkan pembukuan (kodifikasi) hukum di negara kita ini terhadap Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Hukum Pidana Sipil maupun Hukum Pidana Militer, Hukum Acra Perdata dan Hukum Acara Pidana, dan susunan serta kekeuasaan pengadilan.
Hukum yang berlaku bagi golongan bangsa Indonesia asli sendiripun ada ber-bhineka lagi, yaitu berbeda-beda dari daerah ke daerah. Untuk mengerti keadaan Hukum Perdata di Indonesia sekarang ini perlulah mengetahui tentang riwayat politik Pemerintahan Hindia-Belanda dahulu terhadap hukum di Indonesia. Pedoman politik bagi Pemeintah Hindia-Belanda terhadap hukum di Indonesia dituliskan dalam pasal 131 “Indische Staats Regeling” (sebelum pasal 75 Regeringsreglement), yang dalam pokoknya adalah :
1.      Hukum Perdata dan Dagang harus diletakkan dalam kitab-kitab undang-undang yaitu dikodifisir
2.      Untuk golongan bangsa Eropa dianut perundang-undangan yang berlaku di Negeri Belanda
3.      Untuk golongan bangsa Indonesia asli Timur Asing (Tionghoa, Arab)
4.      Orang Indnesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropa, diperbolehkan “menundukkan diri” pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa
5.      Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis di dalam undang-undang

Berdasarkan pedoman-pedoman di atas di zaman Hindia-Belanda telah ada beberapa peraturan undang-undang Eropah yang telah “dinyatakan berlaku” untuk Bangsa Indonesia asli, seperti pasal 1601-1603 lama dari B.W., yaitu perihal perjanjian kerja atau perburuhan (Staatsblad 1879 No. 256), pasal 1788-1791 B.W. perihal hutang-hutang dari perjudian (staatsblad 1907 No. 306) dan beberapa pasal dari Kitab Undang-undang Hukum Dagang, yaitu sebagian besar dari Hukum Laut (Staatsblad 1933 No. 49).

H.    Sistematika Hukum Perdata
Di berbagai negeri yang modern, misalnya di Amerika Serikat dan di Swiss, tidak terdapat suatu Kitab Undang-undang Hukum Dagang tersendiri di samping pembukuan Hukum Perdata seumumnya. Oleh karena itu, sekarang terdapat suatu aliran untuk meleburkan Kitab Undang-undang Hukum Dagang itu ke dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Adanya pemisahan Hukum Dagang dari Hukum Perdata dalam perundang-undangan sekarang ini, hanya terbawa oleh sejarah, yaitu karena di dalam hukum Rumawi yang merupakan sumber terpenting dari Hukum Perdata di Eropah Barat belumlah terkenal Hukum dagang sebagaimana yang terletak dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang sekarang sebab memang perdagangan internasional juga dapat dikatakan baru mulai berkembang dalam Abad Pertengahan.
Hukum Perdata menurut ilmu hukum sekarang dibagi dalam empat bagian, yaitu :
1.      Hukum tentang diri seseorang
Memuat peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subyek dalam hukum, peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan unyuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.
2.      Hukum keluarga
Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu : perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dan isteri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele.
3.      Hukum kekayaan
Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Jika kita mengatakan tentang kekayaan seseorang, yang dimaksud ialah jumlah segala hak dan kewajiban orang itu, dinilai dengan uang. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang demikian itu, biasanya dapat dipindahkan kepada orang lain. Hak-hak kekayaan, terbagi lagi atas hak-hak yang berlaku terhadap tiap orang dan karenanya dinamakan hak mutlak dan hak-hak yang hanya berlaku terhadap seseorang atau suatu pihak yang tertentu saja dan karenanya dinamakan hak perseorangan.
4.      Hukum waris
Mengatur hal ikhwal tentang benda atau kekayaan seorang jikalau ia meninggal. Juga dapat dikatakan, Hukum Waris itu mengatur akibat-akibat hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang. Berhubung dengan sifatnya yang setengah-setengah ini, Hukum Waris lazimnya ditempatkan tersendiri.

I.       Pengertian Hukum Dagang
Hukum dagang merupakan jenis khusus hukum perdata. Oleh karena itu, hubungan hukum dan perbuatan hukum perdagangan juga merupakan hukum keperdataan.

J.      Sumber-sumber Hukum Dagang Indonesia
Mulanya sumber utama hukum dagang Indonesia diatur dalam KUHPerdata sebagai genus, dan KUHP sebagai species. Dengan semakin pesatnya perkembangan dunia bisnis, pengaturan hukum dagang atau bisnis makin berkembang dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur bagian-bagian khusus dari hukum bisnis antara lain yakni :


1.      Pengaturan hukum di dalam kodifikasi
a.       Kitab undang-undang hukum perdata
KUHPerdata yang secara nyata menjadi sumber hukum dagang adalah buku III tentang perikatan.
b.      Pengaturan di dalam kitab undang-undang hukum dagang
2.      Pengaturan di luar kodifikasi
Sumber-sumber hukum dagang yang terdapat di luar kodifikasi diantaranya :
a.       UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
b.      UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
c.       UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
d.      UU No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan
e.       UU N0. 14 Tahun 2002 tentang Paten
f.       UU No. 15 Tahun 1992 tentang Merek
g.      UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
h.      UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang
i.        UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri
j.        UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
3.      Yurisprudensi
4.      Hukum kebiasaan


K.    Pengertian Persekutuan Perdata
Di dalam hukum Inggris hukum persekutuan dikenal dengan istilah company law. Persekutuan perdata menurut pasal 1618 KUHPerdata adalah perjanjian antara dua orang atau lebih mengikat diri untuk memasukkan sesuatu ke dalam persekutuan dengan maksud membagi keuntungan yang diperoleh. Dari ketentuan pasal 1618 KUHPerdata tersebut, dapat ditarik beberapa unsur yang terdapat di dalam persekutuan perdata, antara lain :
1.      Adanya suatu perjanjian kerjasama antara dua orang atau lebih
2.      Masing-masing pihak harus memasukkan sesuatu ke dalam persekutuan
3.      Bermaksud membagi keuntungan bersama
Dari persekutuan perdata baik yang dianut di Inggris, Amerika Serikat, dan Malaysia dapat ditarik beberapa unsur yang melekat dalam persekutuan perdata yakni :
1.      Ketentuan di atas secara tegas tidak memasukkan persekutuan perdata sebagai perusahaan yang terdaftar berdasarkan ketentuan perundang-undangan perusahaan
2.      Persekutuan perdata merupakan hubungan kontraktual
3.      Persekutuan itu menjalankan suatu kegiatan bisnis
4.      Persekutuan didrikan dan dijalankan dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan

L.     Bentuk-bentuk Persekutuan Perdata
Ada beberapa bentuk hukum persekutuan perdata yang dikenal di dalam praktik yaitu :
1.      Persekutuan perdata dapat terjadi antara pribadi-pribadi yang melakukan suatu pekerjaan bebas, seperti pengacara, dokter, arsitek, dan akuntan
2.      Persekutuan bertindak ke luar kepada pihak ketiga secara terang-terangan dan terus-menerus untuk mencari laba, maka persekutuan perdata tersebut dikatakan menjalankan perusahaan
3.      Suatu perjanjian kerjasama dari suatu transaksi sekali segera setempat. Misalnya, kerjasama untuk membeli barang secara bersama-sama dan kemudian dijula dengan mendapat keuntungan

M.   Pengurusan Persekutuan Perdata
Pembebanan pengurusan persekutuan perdata dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :
1.      Diatur sekaligus bersama-sama akta pendirian persekutuan perdata. Sekutu pengurus persekutuan perdata disebut sekutu statuter
2.      Diatur dengan akta tersendiri sesudah persekutuan-persekutuan perdata berdiri. Sekutu pengurus semacam ini dinamakan sekutu mandater
Pengurus pada persekutuan perdata biasannya sekutu sendiri. Para sekutu dapat pula menetapkan, bahwa orang luar yang dianggap cakap diangkat sebagai pengurus persekutuan perdata.

N.    Berakhirnya Persekutuan Perdata
Suatu persekutuan perdata akan berakhir disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :
1.      Lampaunya waktu yang diperjanjikan
2.      Pengakhiran oleh salah satu sekutu
3.      Pengakhiran berdasarkan alasan yang sah
4.      Selesainya perbuatan
5.      Hancurnya benda yang menjadi objek persekutuan
6.      Kematian salah satu sekutu
7.      Adanya pengampunan atau kepailitan terhadap salah seorang sekutu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar